Tayang di Opini Koran Tribun Jateng Selasa, 16 Oktober 2018 |
Berita duka dari 2090 lebih korban
jiwa tersugguh dihadapan kita dari bencana gempa tsunami Palu dan Donggala.
Belum sembuh pilu ini dari duka sebelumnya ditambah lagi gempa Situbondo yang
juga memakan korban jiwa. Memang tsunami, gempa bumi, putting beliung, badai
petir, tanah longsor, gunung meletus, kebakaran hutan, luapan lumpur, rob,
banjir, kekeringan hingga likuivasi adalah deretan bencana alam yang bisa
dikata familier ditelinga kita. Mengingat bencana-bencana itulah yang sering
menimpa negrikita, seakan tiada henti sejak Tsunami Aceh tahun 2004 hingga
sekaran bencana silih berganti menimpa Negara kita. Bahkan tidak cukup sampai
disitu, runtutan potensi bencana yang mungkin menerpa bisa dikatakan merata
dari Sabang sampai Merauke. Maka tidak salah jika kita mengatakan bahwa
Indonesia merupakan daerah rawan bencana. Lantas sudah siapkah kita menghadapi
semua itu? Tentu tidak semua orang menjawab siap, mengingat setiap terjadi
bencana, setiap kali pula hal tersebut memakan banyak korban jiwa.
Melihat kenyataan tersebut sepertinya
sudah saatnya kurikulum bencana diintegrasikan kedalam kurikulum pembelajaran
nasional. Buku saku panduan bencana memang sudah disusun dan diedarkan oleh
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sejak 2017 lalu. Didalam buku saku
tersebut dikatakan bahwa adanya buku itu tidak menjamin keselamatan, namun
memberikan pedoman secara umum untuk kesiap siagaan. Latihan merupakan upaya
nyata untuk meningkatkan kesiap siagaan menghadapi bencana. Tapi kenyataan
dilapangan belum semua masyarakat atau khususnya intitusi pendidikan melakukan
simulasi seperti apa yang telah diarahkan dalam buku saku tersebut. Sekali lagi
implementasi kurikulum bencana perlu sejak dini diterapkan di kurikulum
nasional, minimal terintegrasi dalam kurikulum pramuka yang sudah diwajibkan
untuk seluruh siswa. Ataupun diselipkan dibeberapa materi pelajaran yang
berkaitan dengan bencana baik di IPA maupun di mapel Geografi.
Lantas mulai darimana? Pertannyaan
berikutnya yang mugkin muncul di benak kita. Tentu tiap daerah mempunyai
karakter topografi yang berbeda, lewat BMKG tentu kita bisa mendapatkan data
dan prediksi bencana apa saja yang mungkin melanda wilayak kita. Dari data
itulah dapat kita petakan semacam zonasi
wilayah rawan bencana, untuk itu kurikulum bencana yang sesuai dengan
karakteristik masing masing daerah tersebut yang minimal wajib disampaikan dan
diketahui oleh siswa maupun warga sehingga kapanpun terjadi bencana tentu
mereka sudah siap dalam penanggulangannya. Dan tentu setiap bencana memiliki
penanggulangan, penanganan, cara penyelamatan diri hingga cara evakuasi yang
berbeda. Tidak salahkan kalau kita sebagai siswa maupun wargga sudah lihai
dalam urusan itu semua. Sehingga jika terjadi bencana kitapun siap membantu
evakuasi tanpa harus menunggu dan mengandalkan bantuan utama dari BNPB.
Berdasarkan hal tersebut, ada tiga
hal yang wajib kita kuasai dalam penanggulangan bencana berdasarkan
karakteristik yang dimiliki masing-masing bencana versi www.hopeindonesia.org. Pertama, mulai dari pahami karakteristik masing-masing bencana
yang ada. Mulai dari karakteristik, jika mungkin tanda-tanda/gejala, bisa dari
detektor yang ada ataupun prediksi dari BMKG setempat. Hingga posisi pengamanna
diri saat terjadi bencana sangatlah perlu kita ketahui untuk meminimalisir
terjadinya korban jiwa.
Kedua, kenali dan waspadai resiko yang
mungkin akan terjadi saat terjadi bencana alam tersebut. Tentu beda bencana
beda pula resiko yang ditimbulkan. Dan tentu hal tersebut tidak akan diketaui
dan dimengerti kalau tidak disampaikan atau diajarkan ataupun disimulasikan.
Yang sudah sering kita lihat dibeberapa tempat adalah tulisan jalur evakuasi
ataupun titik kumpul, hal tersebut menunjukkan kewaspadaan dan kesiapan
diwilayah tersebut jikalau terjadi bencana. Tapi sudahkah semua begitu? Tentu
belum jawabnya.
Ketiga, tangani. Penanganan sebelum, saat
dan pasca terjadi bencana tentu berbeda. Penangan sebelum artinya siapapun
wajib tahu ilmu penyelamatan ataupun penanggulangaan saat terjadi bencana,
untuk itu ilmu tersebut peril disampaikan dikurikulum pembelajaran. Sedangkan
saat terjadi bencana tentu implementasi dari ilmu yang telah kita dapat dan
pelajari untuk penyelamatan diri, baik untuk menyelamatkan diri sendiri maupun
upaya penyelamatan kepada orang lain. Dan tentu untuk melatih hal tersebut
butuh simulasi sebelumnya agar kesiap siagaan atau kecakapan selalu ada pada
masing-masing siswa dan masyarakat.
Terakhir penanganan pasca atau
setelah terjadi bencana atau bisa dikata evakuasi. Apakah kita harus menunggu
dari Basarnas turun lapangan? Ataukah kita harus segera bertindak? Kalau kita
tahu ilmunya tentu segera bertindak adalah pilih tepat untuk kemungkinan
menyelamatkan orang lain yang masih bisa tertolong. Jika ketiga hal tersebut
sudah dikuasai siswa sejak dini tentu kesigapan saat mereka besar kelak akan
tumbuh dan tentu harapan banyaknya korban jiwa akan terminimalisir saat terjadi
bencana. Sekarang bukan lagi sekedar hanya menggalang dana tapi juga aksi nyata
untuk selalu siaga dalam menghadapi bencana. Semoga!
No comments:
Post a Comment